(Sebuah Muhassabah/Introspeksi)
Perintah Sholat diterima oleh Rasulullah Muhammad SAW. pada peristiwa Isra' dan Mi'raj yang hampir setiap tahun diperingati oleh umat Islam. Setiap mengingat peristiwa tersebut sebaiknya dijadikan momentum dalam rangka revitalisasi (pengokohan) iman dan semangat beribadah, terutama dalam menegakkan ibadah shalat. Mulai dari komitmen pendirian ibadah ini, sampai kepada menghayati dan menggali potensi yang terkandung dalam ibadah yang sangat potensial ini.
Shalat adalah ibadah pembeda antara posisi orang mukmin dengan orang kafir. Dalam sebuah hadits riwayat Muslim nabi mengatakan : "Batas antara seseorang dengan kekafiran, adalah meninggalkan shalat". Siapa yang meninggalkan ibadah shalat, berarti ia memasuki zona kekafiran. Dalam hadits lain riwayat Bukhari-Muslim, nabipun berkata : "Siapa yang meninggalkan ibadah shalat dengan sengaja (tanpa alasan yang dibolehkan agama), maka ia telah menjadi kafir".
Pelaksanaan ibadah shalat terpaut dengan tegak atau hancurnya konstruksi agama (al-Diin). Hal ini dinyatakan nabi Muhmmad SAW dalam hadits shahihnya : "Siapa yang mendirikan shalat, berarti ia menegakkan agama, dan siapa yang meninggalkan shalat, berarti ia menghacurkan agama". (HR. Bukhari-Muslim)
Menurut pengertiannya, meninggalkan shalat memiliki dua makna : Pertama; meninggalkan shalat secara syari'at, artinya tidak mengerjakan aktivitas shalat secara lahir dengan syarat dan rukunnya, yang dilakukan dengan ucapan, perbuatan, sikap dan gerak lahir, yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Kedua; meninggalkan shalat secara hakikat/batin dari shalat itu. Dalam shalat itu, ia tidak memahami siapa yang disembah (ma'bud) dan siapa pula yang menyembah ('abid). Ia tidak memahami bagaimana niat dan itikad tauhid ditujukan, serta ia tidak memahami ke mana tujuan dan maksud tauhid disandarkan, dalam setiap gerak dan sikap dalam shalat itu.
Dari kenyataan sebelumnya, sering dijumpai banyak orang mendirikan ibadah shalat sampai usia lanjut, namun mereka tidak memperoleh kenikmatan dalam perjumpaan dengan Tuhannya, serta tidak mengalami perubahan dalam eksistensi diri. Contoh dalam hal ini ialah tidak hadirnya potensi untuk menangkap dan memahami pesan-pesan ketuhanan dalam setiap peristiwa di bumi ini, tidak hadirnya rasa takut untuk meninggalkan perintah Ilahi dan melanggar larangan-Nya, sesuai dengan potensi shalat itu sendiri, sebagai pencegah berbuat keji dan mungkar (QS. Al-angkabut : 45).
Secara jujur dapat dikatakan, bahwa sering terjadi pada diri seseorang muslim, dimana antara aqidah yang diyakininya (tauhid), begitupun ibadah yang ditekuninya, seolah-olah tidak nyambung sama sekali dengan realitas kehidupannya sehari-hari, bahkan mungkin berlawanan dengan sifat dan tingkah lakunya sehari-hari. Jadi sholat hanya dilakukan sebagai suatu rutinitas belaka tanpa ada makna yang membekas pada sifat dan tingkah laku pribadinya, ... na'udzubillah mindzalik.
Shalat yang benar, akan melahirkan sifat rendah hati pada diri seseorang. Di dalam gerak shalat, 8 buah tulang persendiannya tercecah ke bumi Allah dalam sujud. Sekalipun dahi letaknya tinggi, ibu jari kaki letaknya di bawah, namun sewaktu sujud kepada Allah, ia sejajar. Ini akan menghasilkan makna, bahwa ia betul-betul tidak ada artinya di hadapan Khaliq dan dengan sendirinya ia tidak akan bersifat sombong kepada sesama. Juga akan tercermin akhlaq yang baik pada dirinya. Mudah-mudahan kita termasuk orang yang mendirikan sholat dengan sebenar-benarnya dan mendapatkan ridho Allah SWT... Amin.
Sebagian Naskah dari http://padang-today.com
Minggu, 21 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar